NHW3: Keluarga, Unit Terkecil Peradaban Manusia
Malam itu, selepas sholat Isya saya menyerahkan surat cinta kepada
suami. Entah apa bisa disebut surat cinta atau bukan karena isinya lebih banyak
flashback dan doa-doa ke depan.
Responsnya? Kami berpelukan tanpa kata-kata selama beberapa
menit. Berdua kami tergugu, menyelami kembali makna pernikahan yang belum genap
2 tahun usianya. Menerima takdir Allaah, menjalani masa-masa perjuangan di awal
pernikahan yang mungkin bagi sebagian orang Allaah berikan kemudahan. Namun bagi
kami sungguh terasa perjuangan yang kami lalui, baik dari segi pekerjaan dan
perkuliahan, finansial, dan pemikiran. Lebih-lebih semenjak kelahiran si
sulung, waktu untuk berdua benar-benar sangat terbatas.
Maka malam itu kami habiskan dengan mengalirkan cerita-cerita
yang belum pernah kami utarakan sebelumnya. Cekikikan ataupun helaan nafas
menimpali di sela-selanya. Sembari kami berdoa, semoga berkah, bahagia, dan
indah hidup kami ke depannya. Aamiin.
==============================================
Keunggulan atau potensi diri? Hmm pertanyaan seperti ini
(katanya) selalu paling sulit dijawab.
Kalau melihat sifat suami yang kalem dan stay cool, maka
saya adalah kebalikannya. Bisa gegap gempita seperti kembang api, merepet
seperti petasan, tapi kalau sudah nangis susah berhenti macam air mancur. Saya
tipe orang yang ekspresif dan senang menyampaikan kesukaan ataupun
ketidaksukaan. Well, sebenarnya ini bisa
jadi strength maupun weakness saya, karena kadang kalau sudah emosi, apa yang
saya sampaikan justru semakin memperkeruh suasana (my bad!!). Tapi saya yakin sifat
saya ini mampu diarahkan ke kebaikan.
Membersamai sosok suami yang pendiam,
maka kadang saya berperan menjadi trigger untuknya. Mengingatkan kembali apa
cita-cita pernikahan kami, saling mengingatkan untuk sama-sama memperbaiki
diri, dan bersama-sama pula membangun keluarga surga.
Yang masih menjadi PR besar bagi saya adalah bagaimana menempatkan diri
agar posisi suami sebagai kepala keluarga tidak tergeser saking banyaknya
ide-ide dan keinginan yang saya lontarkan, yang biasanya beliau setujui saja
dengan timpalan “Oh iya benar juga”. Pak suami, ayo pak, kita sama-sama bangun
keluarga kita ke arah yang lebih baik TT
==============================================
Pertanyaan selanjutnya mengenai “misi” yang Allah embankan ketika Ia karuniai kami dengan kehadiran anak. Keluarga kecil kami telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang pekan depan akan masuk usia 9 bulan. Alhamdulillaah.
Di umurnya yang belum genap 9 bulan, saya masih kesulitan memetakan potensi diri si sulung. Yang paling terlihat adalah kemampuannya yang cukup baik untuk berinteraksi dengan lingkungan, dalam hal ini anak-anak tetangga yang sebagian besar lebih tua darinya. Dia sangat senang bermain dengan kelompok besar, dan ketika digendong oleh ibu-ibu tetangga pun merasa nyaman. Selain itu, saya melihat kemampuan verbalnya cukup baik. Sejak usia 5 bulan, ia sudah mampu membedakan mana ayah dan mana ibunya dengan panggilan yang sesuai, "eyah" dan "abu". Sekarang ia sudah mulai menirukan ucapan kami seperti cicak (titak), AC (ashe), jerapah (papapah), kucing (tting), dan babbling dalam bahasanya.
Memiliki anak laki-laki memang pernah terselip dalam doa-doa
saya. Mengapa? Karena waktu itu saya galau sekali. Usia sudah tidak terlalu
muda (25 tahun waktu itu) tetapi Allaah takdirkan jodoh belum kunjung tiba.
Maka saya pun pernah beberapa kali meminta, “Semoga saya
dikaruniai banyak anak laki-laki. Yang nantinya akan menyelamatkan
wanita-wanita shaliha dari kegalauan belum hadirnya jodoh sholih bertanggung
jawab yang berani mengajak mereka berumah tangga”.
MasyaaAllaah… Tertegun saya melihat kuasa Allaah. Semoga,
dengan kedua tangan saya ini, saya mampu merawat, mendidik, dan menjaga
anak-anak saya agar tumbuh sesuai fitrah. Agar nantinya mampu menjadi imam (ataupun
istri sholiha) bagi keluarganya. Menjadi bagian dari umat terbaik dan pemimpin
kaum bertaqwa. Aamiin.
==============================================
Lingkungan terdekat yang saya rasakan paling dominan pengaruhnya saat ini adalah lingkungan tempat saya tinggal: tetangga. Kami –saya dan suami- adalah pasangan paling muda di sini. Kami mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari para tetangga. Kami tinggal di kompleks kontrakan yang hampir homogen. Bapak-bapak yang rutin sholat fardhu di masjid dan ibu-ibu berjilbab lebar.
Kami (ibu-ibu) sudah memiliki agenda tahsin pekanan dengan mendatangkan seorang
ustadzah. Selain menjadi sarana menuntut ilmu, kegiatan ini saya rasakan besar
manfaatnya untuk mempererat silaturahim warga.
Selain lingkungan tempat tinggal, lingkungan tempat saya kuliah sekarang juga sangat berperan membentuk pribadi saya. Tidak melulu tentang mata kuliah dan pelajaran, hal terbesar yang saya rasakan justru ke kepribadian. Saya merasa lebih "menerima" kekurangan dalam diri saya. Saya juga sadar bahwa kesalahan adalah bagian dari pembelajaran. Hal ini membuat saya lebih terbuka dan terutama mengurangi kegugupan saya ketika harus menyampaikan presentasi di depan kelas.
Comments
Post a Comment