Serba-serbi Mamasiswa - Bagian Kedua

Setelah buat tulisan ga jelas tentang kehidupan mamasiswa di awal hamil sampai menjelang kelahiran di sini, bagian kedua tulisan tentang mamasiswa ini akan menceritakan proses kelahiran Nabil ke dunia. Warning, super long story here :p

Dengan kondisi tidak ambil opsi cuti melahirkan (yang punya konsekuensi menunda kelulusan kuliah), saya masih melanjutkan kuliah sampai 2 hari sebelum melahirkan. Hari perkiraan lahir (HPL), atau 40 minggu usia kandungan berdasar hari pertama haid terakhir (HPHT), jatuh pada tanggal 20 Mei 2016. Perkiraan ini sebetulnya membuat saya dan suami galau. Karena, tanggal 16-27 Mei saya dijadwalkan ikut UTS Semester 8. Muncul pertayaan-pertanyaan di benak saya. Gimana kalau berasa mules pas ujian?? Atau paling gawat kalau tiba-tiba pecah ketuban pas ujian, jadi kontraksi dan proses kelahiran bisa berlangsung sangat cepat?

Saya dan suami pun ngobrol, alangkah "pas"nya kalau anak kami lahir sebelum UTS dimulai. Sehingga kemungkinan-kemungkinan terdrama yang bisa terjadi bisa kami hindari. Saya dan suami pun (mungkin) bisa mengikuti UTS dengan lebih tenang. Sebetulnya kami yakin setiap anak lahir dengan takdirnya msing-masing, termasuk kapan mereka akan lahir. Tapi, tidak ada salahnya untuk berharap, berdoa, dan berusaha agar waktu kelahiran bisa sesuai harapan. Usaha untuk memancing anak kami lahir di minggu ke-38, minggu terakhir perkuliahan, kami lakukan dengan memperbanyak jalan kaki di akhir pekan (ngga ideal banget, ngga bisa tiap hari jalan karena kuliah), sugesti dan mengajak ngobrol bayi, memperlama sujud, kerja sama dengan ayahnya (iykwim), dan banyak-banyak berdoa agar bayi kami bisa lahir sesuai harapan.

Sejak Selasa pagi tanggal 10 Mei, sebetulnya perut saya sudah terasa tidak nyaman. Begah sangat, dan sering kaku. Entah itu kontraksi asli atau palsu, saya rutin mencatat setiap perut saya berasa kencang. Rasanya sih bukan seperti kontraksi yang indahnya tak terperi itu. Ini hanya semacam kram seperti saat PMS. Waktu itu jarak per gelombang masih jarang dan tidak beraturan, jadi saya putuskan untuk stay calm dan tetap kuliah full sampai sore.

Keesokan harinya, gelombang-gelombang itu datang semakin sering. Kalau tidak salah ingat, gelombang datang per 2 jam sekali. Yang saya ingat sekali, hari itu, Rabu 11 Mei, saya masih kebagian jatah presentasi. Jangan bayangin bentuknya ya, emak-emak yang perutnya segede semangka 2 kilo, berdiri di depan kelas selama 15an menit. Setelah presentasi, perut semakin ga nyaman. Kontraksi ringan macam PMS masih datang, jadi saya putuskan untuk pulang kelas lebih awal. Seharusnya saya pulang kuliah jam 5 sore (dan masih harus menempuh jarak 12 kilo untuk sampai ke rumah), saya pilih izin kelas siang dan pulang dengan grab car jam 1 siang.

Hari Kamis saya putuskan untuk tidak masuk kuliah. Suami pun izin kelas pagi dan menemani saya jalan kaki di sekitar rumah. Kondisi perut sudah semakin ga nyaman, dan saya berharap hari itu tanda persalinan bisa muncul. Setelah jalan pagi, saya istirahat di rumah, dan mengecek tas perlengkapan bayi yang sudah saya siapkan.

Akhirnya, yang saya tunggu-tunggu pun tiba. Sewaktu suami kuliah (matkul ASI dengan dosen pak Marmah, saya masih ingat betul itu), sekitar pukul 10.30 the bloody show started. Saya masih kalem dan ga panik, bahkan saya ngga bilang ke ibu mertua dan bibi yang memang stand by di rumah untuk menemani persalinan saya. Saya hanya mengabari suami lewat whatsapp, pun tidak berharap dia langsung baca pesan saya karena jamnya pak Marmah berarti tidak boleh pegang HP. Saya menunggu suami pulang pukul 1 siang dan kami bersiap berangkat ke klinik.

Klinik BWCC menjadi pilihan kami untuk melakukan persalinan. Lokasinya dekat dari rumah, obsgynnya baik-baik, peralatannya memadai, dan biaya yang relatif terjangkau menjadi pertimbangan kami. Dengan menggunakan taksi, saya, bibi, dan ibu mertua berangkat ke klinik. Suami mengawal dengan motor, pertimbangan kami agar bisa mobile kalau-kalau di sana butuh sesuatu.

Sesampainya di klinik, kami melapor, dan suster membawa kami ke ruang persalinan untuk dicek. Pembukaan 1 ke 2. Tepat pukul 14.30. Alhamdulillaah, itu yang saya ucapkan dalam hati. Kamar perawatan disiapkan, dan saya pun memberikan kabar ke keluarga. Saat itu sampai Isya, kontraksi berjalan dengan ringan dan menyenangkan wkwkwk. Saya pikir, "Oh, cuma begini kok sakitnya. InsyaaAllaah bisa.". Saya masih sempat sholat Maghrib (karena berkeyakinan darah yang keluar sebelum bayi lahir bukan termasuk nifas) dan tilawah sambil goyang-goyang di birthing ball. Shalat Isya saya masih bisa shalat dengan duduk, walaupun gelombang cinta terasa makin kuat dan harus beberapa kali jeda shalat sambil menahan nafas.

Jam 20.00, suster datang, melakukan pemeriksaan dalam (PD). Baru pembukaan 3-4. Fiuh OK. Sakitnya masih bisa ditahan. Jam 22.00, suster datang lagi, sudah pembukaan 4. Alhamdulillaah. Kami pun bertanya, kalau kondisi seperti ini, perkiraan bayi lahir pukul berapa? Suster mengatakan, kalau pembukaan cepat, bisa hari itu juga sebelum jam 12 malam. Paling lama jam 9 pagi hari Jumatnya, mungkin bayi sudah lahir. Karena pembukaan 1-4 yang lama, pembukaan selanjutnya, sudah masuk tahap persalinan aktif, biasanya lebih cepat. Suster berkata ketika kontraksi datang, suami bisa memijat pinggang belakang untuk mengurangi rasa sakit. Suster juga berpesan untuk segera memanggilnya ketika saya merasakan dorongan seperti mau pup.

Kami berempat (berlima sama bayi di perut sih) tidur di 1 ruang perawatan. Saya dan suami tidur di dipan pasien, bu mer dan bibi di sofabed penunggu. Malam itu menjadi malam yang tidak terlupakan bagi saya (dan mungkin suami). Setelah jam 10 malam, kontraksi datang makin kuat namun durasinya pendek-pendek. Setiap kontraksi datang, subhanallaah, rasanya T.T. Setiap sekian menit sekali, saya minta diusap-usap ditekan pinggang belakang karena rasanya benar-benar seperti tulang yang direnggangkan secara paksa. Krek krek. Semalaman kami tidak bisa tidur karena kontraksi. Jam 06.00 suster datang dan mengecek, saya sudah di bukaan 6. Tapi kondisi kepala bayi masih tinggi, belum turun ke jalan lahir. Suster meminta saya bersiap-siap dan turun ke ruang bersalin. Saya mandi, memakai baju bersalin, dan turun.

Hari itu hari Jumat dan suami ada jadwal kuliah merapel 4 pertemuan. Karena dalam 1 semester "jatah absen" maksimal adalah 3 pertemuan, maka suami harus tetap masuk kuliah agar bisa ikut UTS. Dengan berprasangka baik bahwa bayi bisa lahir Jumat pagi, kami memutuskan agar suami ikut kuliah siang setelah shalat Jumat. Lumayan, masih bisa dapat 2 pertemuan.

Sekitar jam 09.00 dokter Ika datang dan memeriksa. Masih pembukaan 6-7. Jam 11.00, suami pamit untuk bersiap shalat Jumat. Saya cuma bisa mewek dan minta didoakan agar proses kelahiran dipermudah. Semoga suami pulang dalam kondisi bayi sudah lahir. Lalu sekitar jam 12, dokter Ika datang lagi dan PD lagi. Masih bukaan 8. Jam 1 suami datang, suster ngecek, masih juga di bukaan 8. Akhirnya suami menghubungi dosen secara langsung dan meminta keringanan. Alhamdulillaah dosennya baik, suami bisa dihitung masuk 2 pertemuan dengan syarat merangkum kuliah hari itu dan mengumpulkan tugas tambahan. Jam setengah 3 dokter Ika masuk lagi. Saya masih stuck di bukaan 8. Saya pun memohon-mohon apa ada cara lain agar bayi bisa dikeluarkan (entah vakum, atau apa). Saya benar-benar ngga tahan dengan sakit dan dorongan untuk mengejan sementara bukaan belum lengkap. Itu ruang persalinan udah kaya medan perang karena saya teriak-teriak ngga karuan, "Mau ngeden ajaa. Mau ngeden ajaa." Hahaa. Maluuuu deh kalo sekarang keingetan. Akhirnya jam setengah 3, dokter Ika datang, "Ibu, ini masih di bukaan 8. Tapi posisi kepala bayi sudah semakin turun Bu. Setengah jam lagi saya kasih suntikan untuk melenturkan rahim."

Waktu itu, Buna, kakak pertama saya menemani proses kelahiran dari pagi. Semacam menggantikan posisi Ibu saya yang baru akan berangkat Jumat sore dari Magelang. Hari semakin sore, Buna dan suami ada kewajiban absen sore dan mengurus anak-anak. Mereka pun pamit. Pamit setelah merayu saya untuk makan karena saya benar-benar tidak ada nafsu makan sejak hari Rabu. Cuma pisang segigit dan es teh setengah botol yang saya makan hari itu.

Jam 3, dokter datang dan memasang infus berisi "obat pelumas". Satu setengah jam kemudian, atas kuasa Allaah bukaan saya sudah lengkap. Bukaan 10. Tepat pukul 16.30, dokter Ika lagi-lagi membriefing saya. Kepala bayi sudah terlihat (crowning), ketuban masih utuh dan tidak akan dipecahkan olehnya. Biar pecah sendiri dalam proses kelahiran. Air ketuban sudah hijau, mekonium, kemungkinan bayi stres di dalam. Saya hanya diberinya waktu 30 menit untuk mengejan karena kalau lebih lama, bisa berbahaya untuk bayi. "Mengejan seperti orang mau pup ya Bu. Bukan di perut atas, tapi di bawah. Mengejan hanya saat ada kontraksi datang."

Saya menghimpun sisa-sisa kekuatan orang ngga makan 3 hari yang sudah lelah dan kesakitan. 1 kontraksi datang, 1 ejanan, dan dhuar pecahlah ketuban saya. 1 kontraksi berikutnya datang, saya mengejan semampu saya, dan berhenti ketika kepala bayi balum keluar seutuhnya. Dokter meminta saya menarik nafas dalam-dalam dan mengejan sekuat tenaga di kontraksi berikutnya. Gelombang ketiga itu datang. Allaahu akbar, dengan kekuatan dari Allaah, bayi di rahim saya akhirnya terlahir ke dunia. Bayi laki-laki seberat 3,025 kg dengan panjang 48 cm, yang suara tangisnya membahana, kulitnya putih bersih, rambutnya tipis-tipis, kukunya panjang, 10 jari kaki dan 10 jari tangan. Lengkap sempurna, melengkapi dan menyempurnakan hidup saya :)

Maka nikmat Allaah manakah yang kamu dustakan?

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Finansial: Kesan Pertama

#NHW1: Belajar di Universitas Kehidupan

Bintang di antara Bintang - Hari 3